Hari Pendidikan Nasional, disingkat HARDIKNAS, adalah hari yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia untuk memperingati kelahiran Ki Hadjar Dewantara, tokoh pelopor pendidikan di Indonesia dan pendiri lembaga pendidikan Taman Siswa, diperingati pada tanggal 2 Mei setiap tahunnya.[1]
Kutipan di atas adalah sepotong paragraf di Wikipedia mengenai  Hari Pendidikan Nasional yang bertepatan dengan hari ini. Pagi tadi, saya menikmati day-off dengan duduk santai sendirian di beranda, ditemani segelas teh buatan pembantu kost-an dan sebuah gitar butut--yang senarnya putus satu.
Di sebelah kost tempat saya tinggal adalah sebuah sekolah SMP. Dari tempat saya duduk, saya mendengarkan suara para siswa dan guru-gurunya melakukan upacara. Saya bisa mendengar jelas, karena selain dekat, mereka menggunakan pengeras suara. Serius, jiwa nasionalis saya bangkit, ingin rasanya mengikuti upacara tersebut, tapi..... ah sudahlah, ini tidak ada hubungannya dengan apa yang ingin saya sampaikan pada tulisan ini. :)
Sewaktu asik dengan gitar dan beberapa lagu kesayangan, datang seorang bapak-bapak dengan sepeda motor bututnya. Ternyata bapak itu seorang loper koran. Sewaktu turun dari motornya, bapak itu langsung meraih sebuah koran dan menunjuk satu topik yang menjadi headline di koran tersebut.
"coba lihat ini! mau masuk SD saja harus bayar 10 Juta, sama saja membuat anak orang-orang miskin seperti saya ini buta huruf, padahal katanya pendidikan gratis sampai SLTA" kata bapak itu dengan raut muka kesal. Saya jadi bingung mau menanggapi bagaimana, bapak itu berkata seolah saya ini pejabat Dinas Pendidikan. Akhirnya saya cuma tersenyum dan mengucapkan terimakasih.
Seperginya bapak loper koran itu, saya teringat beberapa obrolan saya dengan ibu saya--yang kebetulan seorang guru SD-- mengenai BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Waktu itu, saya menanyakan perihal pengalokasian dana BOS dan pengaruhnya terhadap biaya sekolah di tempat beliau mengajar.
Kata ibu, "tujuan BOS sebenarnya untuk membebaskan siswa dari pungutan dalam bentuk apapun, tapi pada kenyataannya, para siswa harus membayar pungutan-pungutan lain". Lalu, apa bedanya dengan tidak ada BOS???
Saya kembali teringat pada waktu saya masih duduk di bangku SLTA, tahun ajaran 2005/06 - 2007/08. Waktu itu program BOS sudah dijalankan. Dengan adanya BOS, iuran bulanan BP3 ditiadakan, katanya iuran itu sudah tertutupi oleh dana BOS. Tapi, dari pihak sekolah mewajibkan sebuah pungutan baru yang bernama Iuran Komite Sekolah--yang biayanya justru lebih mahal dari BP3. Mungkin, itu yang dimaksud ibu saya dengan pungutan lain.
Sekarang, sudah benar-benar GRATIS kah mengenyam pendidikan "Wajib Belajar 9 Tahun" di negara kita yang tercinta ini???

Tidak ada komentar:
Posting Komentar